it's Magic yeahh

IP

Fire work

Mine

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Minggu, Maret 20, 2011

House-Berita : Sejarah Indonesia

Asal Mula Nama Indonesia

Catatan masa laluenyebut kepulauan di antara Indocina dan Australia dengan aneka nama.
Kronik-kronik bangsa Tionghoa menyebut kawasan ini sebagai Nan-hai ("Kepulauan Laut Selatan").
Berbagai catatan kuno bangsa India menamai kepulauan ini Dwipantara ("Kepulauan Tanah Seberang"), nama yang diturunkan dari kata Sansekerta dwipa (pulau) dan antara (luar, seberang). Kisah Ramayana karya pujangga Walmiki menceritakan pencarian terhadap Sinta, istri Rama yang diculik Rahwana, sampai ke Suwarnadwipa ("Pulau Emas", diperkirakan Pulau Sumatera sekarang) yang terletak di Kepulauan Dwipantara.
Bangsa Arab menyebut wilayah kepulauan itu sebagai Jaza'ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Nama Latin untuk kemenyan, benzoe, berasal dari nama bahasa Arab, luban jawi ("kemenyan Jawa"), sebab para pedagang Arab memperoleh kemenyan dari batang pohon Styrax sumatrana yang dahulu hanya tumbuh di Sumatera. Sampai hari ini jemaah haji kita masih sering dipanggil "orang Jawa" oleh orang Arab, termasuk untuk orang Indonesia dari luar Jawa sekali pun. Dalam bahasa Arab juga dikenal nama-nama Samathrah (Sumatera), Sholibis (Pulau Sulawesi), dan Sundah (Sunda) yang disebut kulluh Jawi ("semuanya Jawa").
Bangsa-bangsa Eropa yang pertama kali datang beranggapan bahwa Asia hanya terdiri dari orang Arab, Persia, India, dan Tiongkok. Bagi mereka, daerah yang terbentang luas antara Persia dan Tiongkok semuanya adalah Hindia. Jazirah Asia Selatan mereka sebut "Hindia Muka" dan daratan Asia Tenggara dinamai "Hindia Belakang", sementara kepulauan ini memperoleh nama Kepulauan Hindia (Indische Archipel, Indian Archipelago, l'Archipel Indien) atau Hindia Timur (Oost Indie, East Indies, Indes Orientales). Nama lain yang kelak juga dipakai adalah "Kepulauan Melayu" (Maleische Archipel, Malay Archipelago, l'Archipel Malais).
Unit politik yang berada di bawah jajahan Belanda memiliki nama resmi Nederlandsch-Indie (Hindia-Belanda). Pemerintah pendudukan Jepang 1942-1945 memakai istilah To-Indo (Hindia Timur) untuk menyebut wilayah taklukannya di kepulauan ini.
Eduard Douwes Dekker (1820-1887), yang dikenal dengan nama samaran Multatuli, pernah memakai nama yang spesifik untuk menyebutkan kepulauan Indonesia, yaitu "Insulinde", yang artinya juga "Kepulauan Hindia" (dalam bahasa Latin "insula" berarti pulau). Nama "Insulinde" ini selanjutnya kurang populer, walau pernah menjadi nama surat kabar dan organisasi pergerakan di awal abad ke-20.

Daftar isi

[sembunyikan]

[sunting] Nama Indonesia

Pada tahun 1847 di Singapura terbit sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA, BI: "Jurnal Kepulauan Hindia dan Asia Timur")), yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), seorang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay-Polynesian Nations ("Pada Karakteristik Terkemuka dari Bangsa-bangsa Papua, Australia dan Melayu-Polinesia"). Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia ("nesos" dalam bahasa Yunani berarti "pulau"). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dari Bahasa Inggris):
"... Penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu masing-masing akan menjadi "Orang Indunesia" atau "Orang Malayunesia"".
Earl sendiri menyatakan memilih nama Malayunesia (Kepulauan Melayu) daripada Indunesia (Kepulauan Hindia), sebab Malayunesia sangat tepat untuk ras Melayu, sedangkan Indunesia bisa juga digunakan untuk Ceylon (sebutan Srilanka saat itu) dan Maldives (sebutan asing untuk Kepulauan Maladewa). Earl berpendapat juga bahwa bahasa Melayu dipakai di seluruh kepulauan ini. Dalam tulisannya itu Earl memang menggunakan istilah Malayunesia dan tidak memakai istilah Indunesia.
Dalam JIAEA Volume IV itu juga, halaman 252-347, James Richardson Logan menulis artikel The Ethnology of the Indian Archipelago ("Etnologi dari Kepulauan Hindia"). Pada awal tulisannya, Logan pun menyatakan perlunya nama khas bagi kepulauan tanah air kita, sebab istilah Indian Archipelago ("Kepulauan Hindia") terlalu panjang dan membingungkan. Logan kemudian memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf u digantinya dengan huruf o agar ucapannya lebih baik. Maka lahirlah istilah Indonesia. [1]
Untuk pertama kalinya kata Indonesia muncul di dunia dengan tercetak pada halaman 254 dalam tulisan Logan (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia):
"Mr Earl menyarankan istilah etnografi "Indunesian", tetapi menolaknya dan mendukung "Malayunesian". Saya lebih suka istilah geografis murni "Indonesia", yang hanya sinonim yang lebih pendek untuk Pulau-pulau Hindia atau Kepulauan Hindia"
Ketika mengusulkan nama "Indonesia" agaknya Logan tidak menyadari bahwa di kemudian hari nama itu akan menjadi nama resmi. Sejak saat itu Logan secara konsisten menggunakan nama "Indonesia" dalam tulisan-tulisan ilmiahnya, dan lambat laun pemakaian istilah ini menyebar di kalangan para ilmuwan bidang etnologi dan geografi. [1]
Pada tahun 1884 guru besar etnologi di Universitas Berlin yang bernama Adolf Bastian (1826-1905) menerbitkan buku Indonesien oder die Inseln des Malayischen Archipel ("Indonesia atau Pulau-pulau di Kepulauan Melayu") sebanyak lima volume, yang memuat hasil penelitiannya ketika mengembara di kepulauan itu pada tahun 1864 sampai 1880. Buku Bastian inilah yang memopulerkan istilah "Indonesia" di kalangan sarjana Belanda, sehingga sempat timbul anggapan bahwa istilah "Indonesia" itu ciptaan Bastian. Pendapat yang tidak benar itu, antara lain tercantum dalam Encyclopedie van Nederlandsch-Indië tahun 1918. Pada kenyataannya, Bastian mengambil istilah "Indonesia" itu dari tulisan-tulisan Logan.
Pribumi yang mula-mula menggunakan istilah "Indonesia" adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 ia mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau.
Nama Indonesisch (pelafalan Belanda untuk "Indonesia") juga diperkenalkan sebagai pengganti Indisch ("Hindia") oleh Prof Cornelis van Vollenhoven (1917). Sejalan dengan itu, inlander ("pribumi") diganti dengan Indonesiër ("orang Indonesia").

[sunting] Politik

Pada dasawarsa 1920-an, nama "Indonesia" yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia, sehingga nama "Indonesia" akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan. Sebagai akibatnya, pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu. [1]
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka.
Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya,
"Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut "Hindia-Belanda". Juga tidak "Hindia" saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesiër) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya."
Di Indonesia Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama "Indonesia". Akhirnya nama "Indonesia" dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa, dan bahasa pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini dikenal dengan sebutan Sumpah Pemuda.
Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; parlemen Hindia-Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama Indonesië diresmikan sebagai pengganti nama "Nederlandsch-Indie". Permohonan ini ditolak.
Dengan pendudukan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama "Hindia-Belanda". Pada tanggal 17 Agustus 1945, menyusul deklarasi Proklamasi Kemerdekaan, lahirlah Republik Indonesia.




Asal Mula Lambang Garuda Indonesia


Dirancang oleh Sultan Hamid II dari Pontianak yang kemudian di sempurnakan oleh Presiden Soekarno. Pancasila sendiri merupakan Ideologi dan dasar negara Republik Indonesia. Kata Pancasila berasal dari dua buah kata dari bahasa sansekerta yaitu Panca berarti lima dan Sila yang berarti dasar.
Makna Lambang Garuda Pancasila
• Perisai di dada burung Garuda
Melambangkan pertahan bangsa Indonesia
• Warna merah dan putih pada perisai
Warna merah dan putih melambangkan bendera Indonesia
• Garis hitam diagonal pada perisai
Artinya wilayah kedaulatan Republik Indonesia dilalui garis khatulistiwa
• Lambang Pada Perisai
Merupakan sebuah interpretasi dan lambang dari

isi Pancasila
Bintang : Ketuhanan Yang Maha Esa
Rantai : Kemanusiaan Yang adil Dan Beradab
Pohon Beringin : Persatuan Indonesia
Kepala Banteng : Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Permusyawaratan Perwakilan
Padi dan Kapas : Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
• Jumlah bulu pada burung Garuda
17 - helai bulu pada masing masing sayap, melambangkan tanggal 17
8 - helai bulu pada ekor artinya melambangkan bulan 8 atau agustus
45 - helai bulu pada leher burung garuda melambangkan tahun kemerdekaan yaitu tahun 1945
• Bhineka Tunggal Ika
Artinya adalah : Berbeda beda tetapi satu jua
Melambangkan dan menegaskan bahwa meski memiliki keberagaman suku bangsa adat budaya dan agama tetapi dengan persatuan dan kesatuan dapat mewujudkan negara Republik Indonesia
Pengantar
Muhammad Yamin, dikenal dengan berderet sebutan dan jabatan, dari pujian serta kritikan. Namun jarang yang menyebutnya, pendukung ideal hak asasi manusia (HAM) atau promotor HAM (human rights promoter) di Indonesia
Kalimat diatas, merupakan penafsiran Muhammad Yamin atas kalimat pembukaan dalam buku “Contract Social” yang ditulis Rousseau pada 1762. Selanjutnya, dalam pidatonya pada 5 Januari 1960, Yamin, menyatakan, “Itulah sebabnja maka diharuskan, supaya rantai jang membelenggu manusia itu diputuskan, sehingga hilanglah perbedaan dan lahirlah persamaan hak”.
Yamin, pernah, selain merujuk ajaran Jean-Jacques Rousseau, dalam “Empat Uraian tentang Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945”, ia memuat memuat sejumlah dokumen yang berkaitan dengan jaminan HAM, yakni: Deklarasi Virginia tentang Hak-hak Asasi Manusia (the Virginia Declaration of Rights), 12 Juni 1776 dan Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara (Declaration des droits de l’home et du citoyen, 26 Agustus 1789).
Seorang Muhammad Yamin, sempat memberikan pandangan-pandangannya tentang apa yang disebut sebagai HAM, termasuk konsepsi dan ideal HAM yang dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. Yamin, merupakan salah seorang perumus UUD 1945, serta salah satu tokoh yang meyakini UUD 1945 merupakan konstitusi terbaik, termasuk mendukung Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit 5 Juli 1959, yang isinya menyatakan Republik kembali ke UUD 1945.
Artikel singkat ini, akan memberikan sebuah deskripsi mengenai Muhammad Yamin, seorang sarjana dibidang hukum, lahir di Sawahlunto pada 24 Agustus 1903, memandang prinsip-prinsip HAM. Akan dieksplorasi dan dianalisis pandangan dan pernyataan Yamin, berkaitan dengan jaminan dan perlindungan HAM dalam UUD 1945.
Eksplorasi gagasan HAM, yang dalam kesempatan ini diwakili oleh Muhammad Yamin, merupakan upaya untuk memberikan inspirasi sekaligus rambu-rambu bagi para pengambil kebijakan saat ini, termasuk para hakim konstitusi – yang belakangan ini menunjukkan indikasi dan trend, kerap menafsirkan konstitusi UUD 1945 dengan mengabaikan tujuan dibentuknya negara Indonesia. Menurut Yamin, secara singkat tujuan pembentukan Republik Indonesia, sebagai suatu negara kebangsaan (national state; l’etat national) yakni mewujudkan 4 istilah konstitusi, yakni: kebahagiaan, kesejahteraan, perdamaian dan kemerdekaan.
A. Mengenal Muhammad Yamin
Muhammad Yamin, adalah sosok yang mengundang polemik. Perdebatan yang menyangkut Yamin, hingga saat ini masih hidup.
Sejumlah analis, dalam menulis karyanya, merujuk tulisan Yamin, saat membahas proses penyusunan UUD 1945. Pun buku “Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). 28 Mei 1945 – 22 Agustus 1945”, yang diterbitkan Sekretariat Negara Republik Indonesia. Yamin menulis buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, yang menurutnya, apa yang dimuat dalam bukunya ini, merupakan dokumen notulensi yang berbentuk stenografis dari rapat-rapat Dokuritsu Junbi Cosakai (DJC) - Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPK) – pada 1945. Hingga pada awal 1990-an, diketahui, Algemen Rijksarchief di Den Haag, Belanda telah menyerahkan dokumen yang diberi disimpan dalam bundel “Algemeene Secretarie Nederlandsch Indie no. 5645 – 5647” atau dikenal dengan nama “Pringgodigdo archief” kepada Arsip Nasional RI. Arsip ini memuat salinan-salinan catatan yang berkenaan dengan risalah rapat-rapat BPUPK.
Kontroversi tentang “kejujuran Yamin” dalam menyusun “Naskah Persiapan”, sempat dikemukakan Mohammad Hatta. Wakil Presiden RI ini sempat menyangsikan kejujuran Yamin, bahwa apa yang dimuat dalam bukunya, adalah benar dokumen stenografis yang apa adanya, tidak ditambah, tidak dikurangi, tidak dibumbu-bumbui Abdul Gafar Pringgodigo, yang pernah duduk sebagai wakil kepala kantor administrasi BPUPK, menyatakan hanya ada sebuah transkripsi naskah laporan stenografis, tanpa ada satupun salinannya (copy). Transkripsi ini pernah dipinjamkan kepada Yamin, dan tidak pernah ia kembalikan. Sementara, Ananda B. Kusuma, salah seorang penyunting terbitan Setneg, “Risalah Sidang BPUPKI”, kemudian sempat menyampaikan pandangan-pandangannya tentang kelemahan “Naskah Persiapan” yang disusun Yamin, disebuah harian surat khabar nasional.
Hingga sekarang, pemerintah, paling tidak lewat Sekretariat Negara mengakui kedua-duanya merupakan naskah otentik. Dalam penjelasan tim penyunting untuk edisi ketiga buku terbitan Setneg, “Risalah Sidang BPUPKI” dijelaskan ada 2 berkas naskah transkrip asli, yakni Koleksi Pringgodigdo dan Koleksi Muhammad Yamin. Kesimpulan ini setelah tim penyunting, bersama penasihat ahli yang terlibat dalam penyusunan buku melakukan penelaahan dengan teliti terhadap kedua naskah. Penasehat ahli, yang terlibat diantaranya: Taufik Abdullah, Anhar Gongong dan Saleh D. Djamhari – seorang Kolonel Infanteri Angkatan Darat.
Soal perancang gambar lambang negara, merupakan kontroversi lain yang melekat pada diri Yamin hingga sekarang. Dalam karyanya, “Pembahasan Undang-Undang Republik Indonesia”, Yamin menjelaskan “Burung-sakti Elang Radjawali” sebutan lain lambang Garuda, sebagai lambang Negara. Secara puitis, Yamin menjelaskan 3 elemen utama yang menjadi komposisi burung Garuda: (1) lukisan candera-sengkala yang merepresentasikan 17 sayap terbang, 8 helai sayap-kemudi dan 45 helai bulu sayap sisik pada batang tubuh lukisan burung Garuda; (2) makna dari gambar yang melekat pada perisai Pancasila (bintang 5 segi; kepala banteng bertanduk menjulang; pohon beringin yang rindang daunnya dengan urat gantung selengkapnya; kapas dan padi, sebagai bahan pakaian dan bahan makanan; lukisan kalung bermata rantai pasagi dan bundaran cincin, serta (3) arti tulisan “bhinneka tunggal ika”. Buku yang diterbitkan pemerintah, hingga saat ini menyatakan Yamin, sebagai perancang lambang negara ini.
Gugatan atas versi pemerintah tersebut, sempat dikemukakan keluarga besar serta kerabat Istana Keraton Kadariah Pontianak. Menurut mereka, Sultan Hamid II adalah perancang lambang burung Garuda. Muhammad Hatta, sempat menyatakan bahwa perancang lambang Negara adalah Sultan Hamid II, dalam bukunya “Bung Hatta Menjawab”. Pernyataan Bung Hatta inilah, dijadikan salah satu bukti untuk menguatkan argumen pihak kerabat Keraton Kadariah Pontianak.
Kontroversi lain, tentang pandangan Yamin pada saat sidang BPUPKI, mengenai usulan wilayah Republik Indonesia. Yamin Sempat mengusulkan, mencakup: Sumatera, Jawa-Madura, Sunda Kecil, Borneo, Selebes, Maluku – Ambon, dan semenanjung Malaya, Timor dan Papua. Usulan ini, didasarkannya pada wilayah imperium kerajaan Majapahit, dalam kitab sastra Negarakertagama, karangan Mpu Prapantja. Konsep wilayah ini, oleh Yamin diistilahkan “Indonesia Raya”. Gagasan, yang oleh komentator mempunyai kemiripan dengan Ide Raden Mas Notonindito, yang mendirikan Partai Fasis Indonesia pada 1933 di Bandung, dengan tujuan politik mencita-citakan Indonesia Raya yang megah seperti saat kejayaan Majapahit.
Pandangan Yamin tentang lingkup wilayah Republik, sempat mengundang kritik dari Muhammad Hatta dan Agus Salim, seperti dalam Sidang BPUPKI, Sidang Kedua Rapat Besar 11 Juli 1945. Saat itu, Hatta sempat menyindir usulan Yamin, menurutnya jika diterima, wilayah Republik Indonesia akan terus bertambah termasuk didalamnya kepulauan Solomon. Sementara Agus Salim, sempat memberikan responnya dengan menyatakan “Saya tidak membaca Prapanca tetapi membaca riwayat yang lebih dekat”. Kalimat ini merupakan teguran halus dari Agus Salim terhadap proposal Yamin, yang terlalu jauh menggali-gali ‘kitab’ dari masa lalu untuk solusi dari masalah kontemporer. Sebagai catatan, kitab Negarakertagama, disusun Mpu Prapantja pada abad ke-14, tepatnya sekitar tahun 1365 – yang oleh Agus Salim, dinyatakan tidak relevan untuk dijadikan rujukan dalam menentukan wilayah Republik Indonesia pada sidang BPUPK.
Peristiwa kontroversial, melibatkan nama Muhammad Yamin, juga terjadi pada 30 Maret 1933. Saat itu, terbit karangan anonim berjudul ‘Massa Actie” di majalah Banteng, sebuah publikasi Partai Rakyat Indonesia (Partindo) cabang Jakarta, dengan redaktur Amir Sjarifuddin. Yamin, tidak pernah mengakui dirinya yang menulis artikel ini, pun Amir Syarifuddin sebagai redaktur menolak menyebut nama pengarang anonim artikel ini. Namun semua orang pada saat itu tahu, Yamin-lah yang menulis “Massa Actie”. Penolakan Amir menyebut nama pengarang mengakibatkan Amir dilarang untuk menulis dan memimpin sebuah penerbitan, selanjutnya pada 7 Desember 1933, Amir dipidana 18 bulan penjara karena penolakan ini dianggap sebagai kejahatan pers – ditahan 6 bulan di penjara Stuiswijk, Salemba Jakarta dan 1 tahun di penjara Sukamiskin, Bandung.
Kontroversi yang amat agaknya menjadi pengetahuan umum, adalah peran Yamin dalam “kelahiran Pancasila”. Dalam Sidang Pertama BPUPKI pada 29 Mei 1945, Yamin tampil sebagai pembicara. Menurut, Nugroho Susanto, Yamin untuk pertama kali, dalam sidang itu yang mengedepankan materi Pancasila sebagai dasar Negara Indonesia yang akan dibentuk. Yamin, mengemukakan 5 asas Negara Kebangsaan, yakni: (1) peri kebangsaan; (2) peri kemanusiaan; (3) peri ketuhanan; (4) peri kerakyatan, dan (5) kesejahteraan rakyat.
Nugroho, menyimpulkan, penggali Pancasila bukan hanya Bung Karno, tetapi juga Muhammad Yamin dan Soepomo. Dari hasil penelitian ini, terutama terbitan di era Orde Baru termasuk bahan penataran P4, dimunculkan teori baru, bahwa 1 Juni bukanlah hari lahirnya Pancasila.
Pada 1 Juni 1945, yang juga sering disebut sebagai “hari lahirnya Pancasila”, merujuk pada hari dimana Sukarno menyampaikan pidato tentang usulan dasar falsafah negara, yang atas “petunjuk seorang teman ahli bahasa” oleh Sukarno dinamakan Pancasila, yakni: (1) kebangsaan Indonesia; (2) internasionalisme atau peri-kemanusiaan; (3) mufakat atau demokrasi; (4) kesejahteraan sosial, dan (5) ketuhanan Yang Maha Esa.
Yamin memang seorang tokoh kontroversial, termasuk kontroversi raut wajah Patih Gajah Mada, yang digosipkan sejumlah komentator, merupakan rekaan dan mirip dengan wajah Muhammad Yamin.
*****
Yamin dapat dikatakan sebagai “ahli bahasa”. Sebagai seorang sastrawan angkatan Pujangga Baru yang banyak menulis puisi-puisi modern, Yamin juga dikenal sangat mendukung bahasa Melayu dijadikan bahasa persatuan. Dalam Lustrum I Jong Sumateranen Bond yang diadakan di Jakarta pada 1923, ia menyampaikan pidato, dengan judul De Maleiche Taal in het verleden, heden en in de toekomst, yang artinya Bahasa Melayu, masa lalu, masa sekarang, dan masa depan.
Selanjutnya, dalam Kongres Pemuda II, Yamin mengemukakan kembali idenya tentang perlunya sebuah bahasa persatuan. Menurutnya, bahasa Indonesia memberi pengaruh pada persatuan bangsa Indonesia yang terdiri dari begitu banyak suku yang mempergunakan beberapa ratus bahasa daerah. Karenanya, diperlukan bahasa persatuan, yang menurutnya, bahasa yang telah berurat akar dalam pergaulan dan peradaban Indonesia. Atas gagasan ini, Yamin kemudian, diberi tugas oleh Kongres Pemuda II untuk membuat konsep yang akan dimajukan dalam Sidang Umum Kongres.
Rumusan yang disusun Yamin, awalnya berbunyi, kami putra dan putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa persatuan bahasa Melayu. Namun sejumlah anggota panitia perumusan tidak setuju dan meminta ‘bahasa persatuan’ diberi nama. Akhirnya, rumusan menjadi, “Kami Poetra dan Poetri Indonesia Mendjoendjoeng Bahasa Persatoean, Bahasa Indonesia.” Kongres Pemuda inilah yang pertama kali menggunakan frase ‘Bahasa Indonesia’. Yamin, merupakan salah seorang tokoh perumus Sumpah Pemuda 1928 – yang merupakan titik tolak sebuah bentuk perjuangan baru bagi bangsa Indonesia, yaitu adanya kesatuan yang menyeluruh dan meninggalkan sifat dan corak perlawanan Indonesia menentang imperialisme dan kolonialisme Belanda yang sebelumnya berlangsung tanpa organisasi politik, tanpa koordinasi di seluruh Indonesia serta tidak mengenal massa aksi yang teratur dan tersusun.
Di masa perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, Yamin sempat menjadi pimpinan umum harian Kebangoenan, sebuah harian yang dikelolanya dengan Sanusi Pane, Liem Koen Hian dan Amir Sjarifuddin. Selain statusnya sebagai sastrawan dan tokoh pers, Yamin juga dikenal sebagai politisi dan aktivis partai. Ia tokoh Partai Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Saat yang aktif di Partai Indonesia (Partindo), Yamin pernah menjadi calon terpilih dari Sumatera Barat untuk duduk di Volksraad, yaitu Dewan Rakyat. Volksraad merupakan sistem parlementer buatan Belanda yang bertujuan mencapai pemerintahan sendiri bagi Indonesia. Yamin juga tercatat sebagai pendiri Partai Persatuan Indonesia (Parpindo).
*****
Yamin adalah seorang pendukung Demokrasi Terpimpin-nya Sukarno. Dengan Sukarno, hubungannya boleh dikatakan sangat baik, walaupun sempat diwarnai kerenggangan, terutama akibat kebijakan pemenjaraan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan – semula dinamakan volksfront – menyusul peristiwa 3 Juli 1946. Peristiwa 3 Juli, merupakan sebuah peristiwa dimana pengikut Tan Malaka, menculik atau mencoba melakukan penculikan atas menteri dan pejabat tinggi, sebagai upaya memaksa Sukarno menyusun pemerintahan, dengan Persatuan Perjuangan sebagai unsur pokok. Usaha ini akhirnya mengalami kegagalan, yang berbuntut penangkapan dan pemenjaraan tokoh-tokoh Republik yang bergabung dalam Persatuan Perjuangan, termasuk Tan Malaka, Sukarni, Iwa Sumanteri dan Muhammad Yamin.
Di awal terbentuknya Republik, Sukarno pernah menyampaikan protesnya Radjiman Wedyodiningrat, selaku Ketua BPUPK, - karena sempat tidak memasukkan nama Muhammad Yamin dalam tim pembuat UUD, yang diketuai Sukarno. Pada Sidang BPUPK 11 Juli 1945, berkatalah Sukarno:
“Kalau Paduka Tuan yang termulia mengijinkan, maka saya sebagai Syusa dari-pada Panitia Perancangan Undang-Undang Dasar, mohon dengan hormat supaya anggota tuan Yamin ditambahkan kepada kami, sebab kami anggap beliau salah satu ahli Undang-Undang Dasar yang pikiran-pikirannya perlu kami pakai.”
Keinginan Sukarno tersebut, sempat diulanginya pada pembukaan Rapat Panitia Hukum Dasar 11 Juli 1945. Sukarno meminta dukungan kepada 18 anggota Panitia agar Yamin dapat menjadi anggota dalam Panitia ini. Selanjutnya Sukarno meminta J. Latuharhary untuk membuat surat pada Radjiman, yang disampaikan duta Panitia Hukum Dasar, Nakamura, setelah R. Singgih, anggota Panitia bersedia masuk ke panitia yang membahas keuangan dan ekonomi, dimana Yamin menolak untuk ditempatkan dalam panitia tersebut, sehingga ia satu-satunya anggota BPUPK, yang menurut istilah Sukarno, sebagai “tidak ada pekerjaan, artinya vrij, terlepas dari suatu Panitia”.
Dalam peta tempat duduk persidangan DJC, Yamin duduk berdampingan dengan Sukarno dibarisan pertama sayap kanan didepan pimpinan sidang, Ketua dan Wakil Ketua BPUPK. Yamin selalu dilibatkan, terutama oleh dan atas permintaan Sukarno dalam penyusunan UUD, baik dalam panitia kecil maupun Panitia Sembilan, yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta – penamaan yang muncul dari Yamin.
Yamin pernah diangkat Presiden Sukarno menjadi Ketua Dewan Perancang Nasional yang dibentuk menggantikan Dewan Nasional yang diketuai Ruslan Abdulgani. Yamin juga ditunjuk sebagai salah seorang menteri dalam Kabinet Karya III, Menteri Pendidikan dan Urusan Kebudayaan. Yamin juga pernah menjadi anggota Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), yang diketuai A.H. Nasution, yang salah satu tugasnya meminta para pejabat untuk mengisi formulir tentang kekayaan yang dimiliki – semacam daftar kekayaan pejabat negara.
Tercatat, di Era Sukarno, Yamin dipercaya sebagai salah seorang delegasi, sekaligus sebagai Ketua Panitia Kebudayaan Konferensi Tingkat Tinggi Asia Afrika di Bandung, yang berlangsung selama 18 – 24 April 1955.

Asal Mula Bendera Indonesia

Bila kita melihat deretan bendera yang dikibarkan dari berpuluh-puluh bangsa di atas tiang, maka terlintas di hati kita bahwa masing-masing warna atau gambar yang terdapat di dalamnya mengandung arti, nilai, dan kepribadian sendiri-sendiri, sesuai dengan riwayat bangsa masing-masing. Demikian pula dengan bendera merah putih bagi Bangsa Indonesia. Warna merah dan putih mempunyai arti yang sangat dalam, sebab kedua warna tersebut tidak begitu saja dipilih dengan cuma–cuma, melainkan melalui proses sejarah yang begitu panjang dalam perkembangan Bangsa Indonesia.
1. Menurut sejarah, Bangsa Indonesia memasuki wilayah Nusantara ketika terjadi perpindahan orang-orang Austronesia sekitar 6000 tahun yang lalu datang ke Indonesia Timur dan Barat melalui tanah Semenanjung dan Philipina. Pada zaman itu manusia memiliki cara penghormatan atau pemujaan terhadap matahari dan bulan. Matahari dianggap sebagai lambang warna merah dan bulan sebagai lambang warna putih. Zaman itu disebut juga zaman Aditya Candra. Aditya berarti matahari dan Candra berarti bulan. Penghormatan dan pemujaan tidak saja di kawasan Nusantara, namun juga di seluruh Kepulauan Austronesia, di Samudra Hindia, dan Pasifik.
Sekitar 4000 tahun yang lalu terjadi perpindahan kedua, yaitu masuknya orang Indonesia kuno dari Asia Tenggara dan kemudian berbaur dengan pendatang yang terlebih dahulu masuk ke Nusantara. Perpaduan dan pembauran inilah yang kemudian melahirkan turunan yang sekarang kita kenal sebagai Bangsa Indonesia.
Pada Zaman itu ada kepercayaan yang memuliakan zat hidup atau zat kesaktian bagi setiap makhluk hidup yaitu getah-getih. Getah-getih yang menjiwai segala apa yang hidup sebagai sumbernya berwarna merah dan putih. Getah tumbuh-tumbuhan berwarna putih dan getih (dalam Bahasa Jawa/Sunda) berarti darah berwarna merah, yaitu zat yang memberikan hidup bagi tumbuh-tumbuhan, manusia, dan hewan. Demikian kepercayaan yang terdapat di Kepulauan Austronesia dan Asia Tenggara.
2. Pada permulaan masehi selama 2 abad, rakyat di Kepulauan Nusantara mempunyai kepandaian membuat ukiran dan pahatan dari kayu, batu, dan lainnya, yang kemudian ditambah dengan kepandaian mendapat pengaruh dari kebudayaan Dong Song dalam membuat alat-alat dari logam terutama dari perunggu dan besi. Salah satu hasil yang terkenal ialah pembuatan gendering besar dari perunggu yang disebut nekara dan tersebar hampir di seluruh Nusantara. Di Pulau Bali gendering ini disebut Nekara Bulan Pajeng yang disimpan dalam pura. Pada nekara tersebut diantaranya terdapat lukisan orang menari dengan hiasan bendera dan umbul-umbul dari bulu burung. Demikian juga di Gunung Kidul sebelah selatan Yogyakarta terdapat kuburan berupa waruga dengan lukisan bendera merah putih berkibar di belakang seorang perwira menunggang kerbau, seperti yang terdapat di kaki Gunung Dompu.
Sejak kapan bangsa-bangsa di dunia mulai memakai bendera sebagai identitas bangsanya? Berdasarkan catatan sejarah dapat dikemukakan bahwa awal mula orang menggunakan bendera dimulai dengan memakai lencana atau emblem, kemudian berkembang menjadi tanda untuk kelompok atau satuan dalam bentuk kulit atau kain yang dapat berkibar dan mudah dilihat dari jauh. Berdasarkan penelitian akan hasil-hasil benda kuno ada petunjuk bahwa Bangsa Mesir telah menggunakan bendera pada kapal-kapalnya, yaitu sebagai batas dari satu wilayah yang telah dikuasainya dan dicatat dalam daftar. Demikian juga Bangsa Cina di zaman kaisar Chou tahun 1122 sebelum masehi.
Bendera itu terikat pada tongkat dan bagian puncaknya terdapat ukiran atau totem, di bawah totem inilah diikatkan sepotong kain yang merupakan dekorasi. Bentuk semacam itu didapati pada kebudayaan kuno yang terdapat di sekitar Laut Tengah. Hal itu diperkuat juga dengan adanya istilah bendera yang terdapat dalam kitab Injil. Bendera bagi raja tampak sangat jelas, sebab pada puncak tiang terdapat sebuah symbol dari kekuasaan dan penguasaan suatu wilayah taklukannya. Ukiran totem yang terdapat pada puncak atau tiang mempunyai arti magis yang ada hubungnnya dengan dewa-dewa. Sifat pokok bendera terbawa hingga sekarang ini.
Pada abad XIX tentara napoleon I dan II juga menggunakan bendera dengan memakai lambang garuda di puncak tiang. Perlu diingat bahwa tidak semua bendera mempunyai arti dan ada hubungannya dengan religi. Bangsa Punisia dan Yunani menggunakan bendera sangat sederhana yaitu untuk kepentingan perang atau menunjukkan kehadiran raja atau opsir, dan juga pejabat tinggi negara. Bendera Yunani umumnya terdiri dari sebuah tiang dengan kayu salib atau lintang yang pada puncaknya terdapat bulatan. Dikenal juga perkataan vaxillum (kain segi empat yang pinggirnya berwarna ungu, merah, atau biru) digantung pada kayu silang di atas tombak atau lembing.
Ada lagi yang dinamakan labarum yang merupakan kain sutra bersulam benang emas dan biasanya khusus dipakai untuk Raja Bangsa Inggris menggunakan bendera sejak abad VIII. Sampai abad pertengahan terdapat bendera yang menarik perhatian yaitu bendera “gunfano” yang dipakai Bangsa Germania, terdiri dari kain bergambar lencana pada ujung tombak, dan dari sinilah lahir bendera Prancis yang bernama “fonfano”.
Bangsa Viking hampir sama dengan itu, tetapi bergambar naga atau burung, dikibarkan sebagai tanda menang atau kalah dalam suatu pertempuran yang sedang berlangsung. Mengenai lambang-lambang yang menyertai bendera banyak juga corak ragamnya, seperti Bangsa Rumania pernah memakai lambang burung dari logam, dan Jerman kemudian memakai lambang burung garuda, sementara Jerman memakai bendera yang bersulam gambar ular naga.
Tata cara pengibaran dan pemasangan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung, kibaran bendera putih sebagai tanda menyerah (dalam peperangan) dan sebagai tanda damai rupanya pada saat itu sudah dikenal dan etika ini sampai sekarang masih digunakan oleh beberapa Negara di dunia.
3. Pada abad VII di Nusantara ini terdapat beberapa kerajaan. Di Jawa, Sumatra, Kalimantan, dan pulau-pulau lainnya yang pada hakikatnya baru merupakan kerajaan dengan kekuasaan terbatas, satu sama lainnya belum mempunyai kesatuan wilayah. Baru pada abad VIII terdapat kerajaan yang wilayahnya meliputi seluruh Nusantara yaitu Kerajaan Sriwijaya yang berlangsung sampai abad XII. Salah satu peninggalannya adalah Candi Borobudur , dibangun pada tahun 824 Masehi dan pada salah satu dindingnya terdapat “pataka” di atas lukisan dengan tiga orang pengawal membawa bendera merah putih sedang berkibar. Kata dwaja atau pataka sangat lazim digunakan dalam kitab jawa kuno atau kitab Ramayana. Gambar pataka yang terdapat pada Candi Borobuur, oleh seorang pelukis berkebangsaan Jerman dilukiskan dengan warna merah putih. Pada Candi Prambanan di Jawa Tengah juga terdapat lukisan Hanoman terbakar ekornya yang melambangkan warna merah (api) dan warna putih pada bulu badannya. Hanoman = kera berbulu putih. Hal tersebut sebagai peninggalan sejarah di abad X yang telah mengenal warna merah dan putih.
Prabu Erlangga, digambarkan sedang mengendarai burung besar, yaitu Burung Garuda yang juga dikenal sebagau burung merah putih. Denikian juga pada tahun 898 sampai 910 Raja Balitung yang berkuasa untuk pertama kalinya menyebut dirinya sebagai gelar Garuda Muka, maka sejak masa itu warna merah putih maupun lambang Garuda telah mendapat tempat di hati Rakyat Indonesia.
4. Kerajaan Singosari berdiri pada tahun 1222 sampai 1292 setelah Kerajaan Kediri, mengalami kemunduran. Raja Jayakatwang dari Kediri saat melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Singosari di bawah tampuk kekuasaan Raja Kertanegara sudah menggunakan bendera merah – putih , tepatnya sekitar tahun 1292. Pada saat itu tentara Singosari sedang dikirim ke Semenanjung Melayu atau Pamelayu. Jayakatwang mengatur siasat mengirimkan tentaranya dengan mengibarkan panji – panji berwarna merah putih dan gamelan kearah selatan Gunung Kawi. Pasukan inilah yang kemudian berhadapan dengan Pasukan Singosari, padahal pasukan Singosari yang terbaik dipusatkan untuk menghadang musuh di sekitar Gunung Penanggungan. Kejadian tersebut ditulis dalam suatu piagam yang lebih dikenal dengan nama Piagam Butak. Butak adalah nama gunung tempat ditemukannya piagam tersebut terletak di sebelah selatan Kota Mojokerto. Pasukan Singosari dipimpin oleh R. Wijaya dan Ardaraja (anak Jayakatwang dan menantu Kertanegara). R. Wijaya memperoleh hadiah sebidang tanah di Desa Tarik, 12 km sebelah timur Mojokerto. Berkibarlah warna merah – putih sebagai bendera pada tahun 1292 dalam Piagam Butak yang kemudian dikenal dengan piagam merah – putih, namun masih terdapat salinannya. Pada buku Paraton ditulis tentang Runtuhnya Singosari serta mulai dibukanya Kerajaan Majapahit dan pada zaman itu pula terjadinya perpaduan antara Ciwaisme dengan Budhisme.
5. Demikian perkembangan selanjutnya pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit, menunjukkan bahwa putri Dara Jingga dan Dara Perak yang dibawa oleh tentara Pamelayu juga mangandung unsur warna merah dan putih (jingga=merah, dan perak=putih). Tempat raja Hayam Wuruk bersemayam, pada waktu itu keratonnya juga disebut sebagai keraton merah – putih, sebab tembok yang melingkari kerajaan itu terdiri dari batu bata merah dan lantainya diplester warna putih. Empu Prapanca pengarang buku Negarakertagama menceritakan tentang digunakannya warna merah – putih pada upacara kebesaran Raja Hayam Wuruk. Kereta pembesar – pembesar yang menghadiri pesta, banyak dihiasi merah – putih, seperti yang dikendarai oleh Putri raja Lasem. Kereta putri Daha digambari buah maja warna merah dengan dasar putih, maka dapat disimpulkan bahwa zaman Majapahit warna merah – putih sudah merupakan warna yang dianggap mulia dan diagungkan. Salah satu peninggalan Majapahit adalah cincin warna merah putih yang menurut ceritanya sabagai penghubung antara Majapahit dengan Mataram sebagai kelanjutan. Dalam Keraton Solo terdapat panji – panji peninggalan Kyai Ageng Tarub turunan Raja Brawijaya yaitu Raja Majapahit terakhir. Panji – panji tersebut berdasar kain putih dan bertuliskan arab jawa yang digaris atasnya warna merah. Hasil penelitian panitia kepujanggaan Yogyakarta berkesimpulan antara lain nama bendera itu adalah Gula Kelapa . dilihat dari warna merah dan putih. Gula warna merah artinya berani, dan kelapa warna putih artinya suci.
6. Di Sumatra Barat menurut sebuah tambo yang telah turun temurun hingga sekarang ini masih sering dikibarkan bendera dengan tiga warna, yaitu hitam mewakili golongan penghulu atau penjaga adat, kuning mewakili golongan alim ulama, sedangkan merah mewakili golongan hulu baling. Ketiga warna itu sebenarnya merupakan peninggalan Kerajaan Minang pada abad XIV yaitu Raja Adityawarman. Juga di Sulawesi di daerah Bone dan Sopeng dahulu dikenal Woromporang yang berwarna putih disertai dua umbul – umbul di kiri dan kanannya. Bendera tersebut tidak hanya berkibar di daratan, tetapi juga di samudera , di atas tiang armada Bugis yang terkenal. Bagi masyarakat Batak terdapat kebudayaan memakai ulos semacam kain yang khusus ditenun dengan motif tersendiri. Nenek moyang orang Batak menganggap ulos sebgai lambang yang akan mendatangkan kesejahteraan jasmani dan rohani serta membawa arti khusus bagi yang menggunakannya. Dalam aliran animisme Batak dikenal dengan kepercayaan monotheisme yang bersifat primitive, bahwa kosmos merupakan kesatuan tritunggal, yaitu benua atas dilambangkan dengan warna merah dan benua bawah dilambangkan dengan warna hitam. Warna warna ketiga itu banyak kita jumpai pada barang-barang yang suci atau pada hiasan-hiasan rumah adat. Demikian pula pada ulos terdapat warna dasar yang tiga tadi yaitu hitam sebagai warna dasar sedangkan merah dan putihnya sebagai motif atau hiasannya. Di beberapa daerah di Nusantara ini terdapat kebiasaan yang hampir sama yaitu kebiasaan memakai selendang sebagai pelengkap pakaian kaum wanita. Ada kalanya pemakaian selendang itu ditentukan pemakaiannya pada setiap ada upacara – upacara, dan sebagian besar dari moti-motifnya berwarna merah dan putih.
7. Ketika terjadi perang Diponegoro pada tahun 1825-1830 di tengah – tengah pasukan Diponegoro yang beribu – ribu juga terlihat kibaran bendera merah – putih, demikian juga di lereng – lereng gunung dan desa - desa yang dikuasai Pangeran Diponegoro banyak terlihat kibaran bendera merah - putih. Ibarat gelombang samudera yang tak kunjung reda perjuangan Rakyat Indonesia sejak zaman Sriwijaya, Majapahit, putra – putra Indonesia yang dipimpin Sultan Agung dari Mataram, Sultan Ageng Tirtayasa dari Banten, Sultan Hasanudin, Sisingamangaraja, Tuanku Imam Bonjol, Teuku Umar, Pangeran Antasari, Pattimura, Diponegoro dan banyak lagi putra Indonesia yang berjuang untuk mempertahankan kedaulatan bangsa, sekalipun pihak penjajah dan kekuatan asing lainnya berusaha menindasnya, namun semangat kebangsaan tidak terpadamkan.
Pada abad XX perjuangan Bangsa Indonesia makin terarah dan menyadari akan adanya persatuan dan kesatuan perjuangan menentang kekuatan asing, kesadaran berbangsa dan bernegara mulai menyatu dengan timbulnya gerakan kebangsaan Budi Utomo pada 1908 sebagai salah satu tonggak sejarah.
Kemudian pada tahun 1922 di Yogyakarta berdiri sebuah perguruan nasional Taman Siswa dibawah pimpinan Suwardi Suryaningrat. Perguruan itu telah mengibarkan bendera merah putih dengan latar dasar warna hijau yang tercantum dalam salah satu lagu antara lain : Dari Barat Sampai ke Timur, Pulau-pulau Indonesia, Nama Kamu Sangatlah Mashur Dilingkungi Merah-putih. Itulah makna bendera yang dikibarkan Perguruan Taman Siswa.
Ketika terjadi perang di Aceh, pejuang – pejuang Aceh telah menggunakan bendera perang berupa umbul-umbul dengan warna merah dan putih, di bagian belakang diaplikasikan gambar pedang, bulan sabit, matahari, dan bintang serta beberapa ayat suci Al Quran.
Para mahasiswa yang tergabung dalam Perhimpunan Indonesia yang berada di Negeri Belanda pada 1922 juga telah mengibarkan bendera merah – putih yang di tengahnya bergambar kepala kerbau, pada kulit buku yang berjudul Indonesia Merdeka. Buku ini membawa pengaruh bangkitnya semangat kebangsaan untuk mencapai Indonesia Merdeka.
Demikian seterusnya pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno yang bertujuan mencapai kemerdekaan bagi Bangsa Indonesia. Partai tersebut mengibarkan bendera merah putih yang di tengahnya bergambar banteng.
Kongres Pemuda pada tahun 1928 merupakan detik yang sangat bersejarah dengan lahirnya “Sumpah Pemuda”. Satu keputusan sejarah yang sangat berani dan tepat, karena kekuatan penjajah pada waktu itu selalu menindas segala kegiatan yang bersifat kebangsaan. Sumpah Pemuda tersebut adalah tidak lain merupakan tekad untuk bersatu, karena persatuan Indonesia merupakan pendorong ke arah tercapainya kemerdekaan. Semangat persatuan tergambar jelas dalam “Poetoesan Congres Pemoeda – Pemoeda Indonesia yang berbunyi :
Pertama : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERTOEMPAH DARAH YANG SATOE, TANAH AIR INDONESIA
Kedua : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA MENGAKOE
BERBANGSA YANG SATOE, BANGSA INDONESIA
Ketiga : KAMI POETRA DAN POETRI INDONESIA
MENDJOENDJOENG BAHASA PERSATOEAN, BAHASA
INDONESIA
Pada kongres tersebut untuk pertama kalinya digunakan hiasan merah – putih tanpa gambar atau tulisan, sebagai warna bendera kebangsaan dan untuk pertama kalinya pula diperdengarkan lagu kebangsaan Indonesia Raya.
Pada saat kongres pemuda berlangsung, suasana merah – putih telah berkibar di dada peserta, yang dibuktikan dengan panitia kongres mengenakan “kokarde” (semacam tanda panitia) dengan warna merah putih yang dipasang di dada kiri. Demikian juga pada anggota padvinder atau pandu yang ikut aktif dalam kongres menggunakan dasi berwarna merah – putih. Kegiatan pandu, suatu organisasi kepanduan yang bersifat nasional dan menunjukkan identitas kebangsaan dengan menggunakan dasi dan bendera merah – putih.
Perlu disadari bahwa Polisi Belanda (PID) termasuk Van der Plass tokohnya sangat ketat memperhatikan gerak – gerik peserta kongres, sehingga panitia sangat berhati-hati serta membatasi diri demi kelangsungan kongres. Suasana merah putih yang dibuat para pandu menyebabkan pemerintah penjajah melarang dilangsungkannya pawai pandu, khawatir pawai bisa berubah menjadi semacam penggalangan kekuatan massa.
Pengibaran Bendera Merah-putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya dilarang pada masa pendudukan Jepang, karena ia mengetahui pasti bahwa hal tersebut dapat membangkitkan semangat kebangsaan yang nantinya menuju pada kemerdekaan. Kemudian pada tahun 1944 lagu Indonesia Raya dan Bendera Merah-putih diizinkan untuk berkibar lagi setelah kedudukan Jepang terdesak. Bahkan pada waktu itu pula dibentuk panitia yang bertugas menyelidiki lagu kebangsaan serta arti dan ukuran bendera merah-putih.
Detik-detik yang sangat bersejarah adalah lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Setelah pembacaan teks proklamasi, baru dikibarkan bendera merah-putih, yang kemudian disahkan pada 18 Agustus 1945. Bendera yang dikibarkan tersebut kemudian ditetapkan dengan nama Sang Saka Merah Putih.
Kemudian pada 29 September 1950 berkibarlah Sang Merah Putih di depan Gedung Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai pengakuan kedaulatan dan kemerdekaan Bangsa Indonesia oleh badan dunia.
Bendera merah-putih mempunyai persamaan dengan bendera Kerajaan Monako, yaitu sebuah Negara kecil di bagian selatan Prancis, tapi masih ada perbedaannya. Bendera Kerajaan Monako di bagian tengah terdapat lambang kerajaan dan ukurannya dengan perbandingan 2,5 : 3, sedangkan bendera merah putih dengan perbandingan 2 : 3 (lebar 2 meter, panjang 3 meter) sesuai Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1958. Kerajaan Monako menggunakan bendera bukan sebagai lambang tertinggi karena merupakan sebuah kerajaan, sedangkan bagi Indonesia bendera merah putih merupakan lambang tertinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Entri Populer

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Look

Lampirkan Chat Loe disini Bro


ShoutMix chat widget